Sabtu, 20 September 2008

National Heroism-"Warganegara"_Ms.Heni Hayat

Bab I
Warganegara


1. Pengertian Warga Negara
Warganegara adalah orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, yang mempunyai hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya, dengan UUD negaranya. Sekalipun yang bersangkutan berada di luar negeri, selama yang bersangkutan memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum internasional.
Pengertian lain dari warga negara, adalah rakyat yang menetap disuatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungan dengan negara.
Dan, warga negara adalah semua orang berdasarkan hukum menjadi anggota dari suatu negara, dan mengakui pemerintah (negara) tersebut sebagai pemerintah (negaranya) sendiri.

2. Penentuan Kewarganegaraan
Ada tiga cara untuk menentukan kewarganegaraan seseorang, yaitu :
a. Unsur darah keturunan (ius sanguinus/sanguinis).
Asas ius sanguinus atau asas pertalian darah, yaitu suatu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orangtuanya.
Dalam asas ini kewarganegaraan seorang anak sangat bergantung pada kewarganegaraan orang tuanya, tanpa memperhatikan di mana anak itu dilahirkan. Seseorang akan menjadi warga dari negara A, apabila orangtuanya memiliki kewarganegaraan negara A.
Asas ius sanguinus ini dianut antara lain oleh RRC, sehingga setiap anak akan memperoleh kewarganegaraan RRC apabila orangtuanya berkewarganegaraan RRC.
b. Unsur daerah tempat kelahiran (ius soli).
Asas ius soli atau teritorial, yaitu suatu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya, tanpa memperhatikan kewarganegaraan orangtuanya. Seseorang akan menjadi warga negara dari negara B, apabila ia dilahirkan di wilayah negara B.
Seseorang yang dilahirkan di negara yang menganut asas ius soli, dan orangtuanya berasal dari negara lain, maka orang tersebut akan menjadi warga negara dari negara tempat kelahirannya. Hal ini akan menyebabkan putusnya hubungan orang tersebut dengan negara asal orang tuanya. Asas ius soli ini dianut antara lain oleh Amerika Serikat.
Misalnya: Si A dilahirkan di negara Amerika Serikat yang menganut asas ius soli, sedangkan orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia. Akibatnya si A menjadi warga negara Amerika Serikat karena si A berkewarganegaraan Amerika Serikat, dan putuslah hubungan si A dengan negara Indonesia.
c. Unsur pewarganegaraan (naturalisasi).
Yaitu, pengajuan permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu setelah melengkapi beberapa persyaratan.
Misalnya di Indonesia, orang asing yang bukan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan RI dengan cara naturalisasi. Naturalisasi merupakan salah satu cara untuk memperoleh kewarganegaraan RI. Naturalisasi dapat dibedakan antara naturalisasi biasa dan naturalisasi istimewa.
1. Naturalisasi Biasa
Dalam naturalisasi biasa, seseorang yang hendak menjadi WNI harus mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri di tempat ia berdomisili atau menetap.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si pemohon adalah :
a. Sudah berumur 21 tahun.
b. Lahir dalam wilayah RI, atau bertempat tinggal yang paling akhir sedikitnya 5 tahun berturut-turut, atau selama 10 tahun tidak berturut-turut di wilayah RI.
c. Apabila ia seorang laki-laki yang sudah menikah, ia perlu mendapat persetujuan dari istrinya.
d. Dapat berbahasa indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia, serta tidak pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatn yang merugikan RI.
e. Dalam keadaan sehat rohani dan jasmani.
f. Bersedia membayar kepada kas negara uang sejumlah antara Rp 500,00 sampai Rp 10.000,00 bergantung pada penghasilan setiap bulan.
g. Mempunyai mata pencaharian yang tetap.
h. Tidak mempunyai kewarganegaraan lain, atau pernah kehilangan kewarganegaraan RI.
2. Naturalisasi istimewa
Naturalisasi isimewa hanya diberikan kepada seseorang (orang asing) yang telah berjasa terhadap negara RI. Dalam naturalisasi istimewa, seseorang tidak usah melakukan suatu tindakan hukum tertentu, tetapi cukup dengan mengucapkan sumpah atau janji setia kepada negara RI.
Pewarganegaraan istimewa ini tidak bersifat memaksa, artinya orang yang telah berjasa tersebut berhak untuk menolak kewarga-negaraan yang diberikan. Hak penolakan itu disebut dengan Hak Repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan.

Berdasarkan dari asas ius sanguinis dan ius soli, asas kewarganegaraan yang dianut negara indonesia pada zaman dahulu (ketika menggunakan UU No. 3 tahun 1946) adalah cenderung menggunakan asas ius soli. Sedangkan pada masa sekarang yang didasarkan pada UU No. 62 tahun 1958, pada dasarnya menggunakan asas ius sanguinis.

Cara Memperoleh Kewarganegaraan
Kewarganegaraan RI dapat diperoleh antara lain:
a. Keturunan (pertalian darah).
Sebagian besar warga negara RI memperoleh kewarganegaraan melalui garis keturunan dari orang tuanya yang berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini berarti setiap anak yang lahir dari orangtua yang berkewarganegaraan Indonesia akan memperoleh kewarganegaraan RI.
Pasal 1 huruf: b – e UU No. 62 tahun 1958 seperti telah dipaparkan di atas merupakan contoh kewarganegaraan RI yang diperoleh karena pertalian darah atau keturunan.
b. Kelahiran.
Dalam hal-hal tertentu, kewarganegaraan RI dapat diperoleh karena kelahirannya di wilayah negara RI. Misalnya, Si A dilahirkan di wilayah RI, sedangkan orang tuanya tisak diketahui, maka anak itu akan memperoleh kewarganegaraan RI.
c. Pengangkatan (adopsi).
Anak orang asing di bawah umur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warga negara Indonesia, dapat menjadi warga negara Indonesia dengan disahkan oleh pengadilan di tempat orangtua angkat itu berada. Dan batas umur maksimal 5 tahun, karena kalau anak ini sudah melewati batas umur, maka anak tersebut sudah mempunyai nalar.
d. Pewarganegaraan atau Naturalisasi.
Orang asing yang bukan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan RI dengan cara naturalisasi atau pewarganegaraan.
e. Melalui Perkawinan.
Seorang perempuan berkewarganegaraan asing yang kawin dengan seorang laki-laki berkewarganegaraan RI, dapat menjadi WNI dengan cara menyatakan untuk menjadi WNI kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri, setelah satu tahun melangsungkan perkawinan.

Hilangnya Kewarganegaraan RI
Seseorang dengan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dapat memperoleh kewraganegaraan. Namun demikian kewarganegaraan pun dapat hilang karena berbagai hal.
Menurut UU No. 62 tahun 1958, seorang warga negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya karena :
a. Kawin dengan seorang laki-laki asing.
b. Putusnya perkawinan seorang wanita asing dengan laki-laki warga negara Indonesia.
c. Anak seorang ibu yang kehilangan kewarganegaraan RI, apabila anak itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.
d. Memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri.
e. Tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain sedangkan orang yang bersangkutan berkesempatan untuk itu.
f. Diakui oleh orang asing sebagai anaknya.
g. Diangkat anak secara sah oleh orang asing sebelum berumur 5 tahun.
h. Dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh menteri kehakiman dengan persetujuan dewan menteri.
i. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari menteri kehakiman RI.
j. Mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing.
k. Turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk negara asing.
l. Mempunyai paspor atau syarat berdifat paspor dari negara asing atas namanya sendiri.
m. Bertempat tinggal di luar negeri selama 5 tahun bertururt-turut dengan tidak menyatakan keinginan untuk tetap menjadi WNI, kecuali jika ia ada dalam dinas negara RI.
n. Isteri dari suami yang kehilangan kewarganegaraan RI, apabila kewarganegaraan isteri tersebut diperoleh karena perkawinannya.

3. Hak dan Kewajiban Warga negara
Hak-hak warga negara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
a. Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Diatur dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. maksud yang terkandung dalam pasal 27 adalah bahwa semua warga negara, baik pejabat maupun rakyat, kaya maupun miskin, harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum. Setiap orang yang diadilipun mempunyai hak membela diri baik dilakukan oleh tertuduh sendiri maupun pembela. Demikian pula dengan bidang pemerintahan, setiap orang berhak menduduki suatu jabatan pemerintahan asalkan memenuhi persyaratan.
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Diatur dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945. pasal ini menyatakan bahwa setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa memandang suku, ras, dan agama berhak memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
c. Hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Terdapat dalam pasal 28 UUD 1945. pasal ini mengakui dan menjamin kemerdekaan untuk menyatakan pikiran atau pendapat dan hak mendirikan perkumpulan dan berserikat.
Hak ini kemudian diatur lebih lanjut dalam UU PTK No. 14 tahun 1969 pasal 11 ayat 1 yang menyatakan bahwa : ”Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja”.
Dalam bidang politik, pasal 28 ini kemudian diatur dalam UU No. 3 tahun 1999 tentang pemuli; UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan (ORMAS); serta UU No. 9 tahun 1998 serta UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik; tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum berlandaskan pada asas keseimbangan antara Hak dan Kewajiban; musyawarah dan mufakat; kepastian hukum dan keadilan; proposionalitas; dan manfaat.
d. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah.
Diatur dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945. pasal ini memberikan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Berdasarkan pasal 29, negara Indonesia merupakan negara yang berketuhanan YME (negara yang religius), tetapi bukan negara teokrasi (berdasarkan satu agama). Jadi, setiap penduduk (termasuk warga negara) diberi kebebasan untuk memilih salah satu agama yang diyakininya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kebebasan memeluk agama bukan berarti bebas untuk tidak beragama atau berketuhanan YME, tetapi bebas untuk memeluk salah satu agama yang diyakininya.
Kebebasan memeluk agama juga merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu lansung bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kebebasan beragama bukan pemberian negara atau golongan, karena beragama berdasarkan pada keyakinan sehingga tidak dapat dipaksakan.
e. Hak ikut serta dalam membela negara.
Diatur dalam pasal 30 ayat 1 UUD 1945. pasal ini mengakui dan menjamin hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha membela negara. Hak dan kewajiban membela negara kemudian diatur dalam UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI.
f. Hak mendapat pengajaran
Diatur dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945. pasal ini mengakui hak setiap warga negara untuk mendapat pengajaran. Setiap warga negara diberi kebebasan untuk memilih jalur dan jenis pendidikan yang disukainya sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan masing-masing. Untuk menampung bakat dan minat warga negara dalam pengajaran atau pendidikan, pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah telah mendirikan sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah.
g. Hak dipelihara oleh negara
Diatur dalam pasal 34 UUD 1945. yang menegaskan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini merupakan hak khusus untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar, pemerintah dan swasta telah mendirikan panti-panti asuhan.
h. Hak memilih dan dipilih.
Diatur dalam UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilu. Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap WNI yang telah memenuhi persyaratan tertentu berhak memilih calon anggota badan permusyawaratan/perwakilan rakyat dan berhak untuk dipilih menjadi anggota badan permusyawaratan/perwakilan rakyat.

Kewajiban Warga Negara Indonesia, yaitu :
a. Kewajiban menjujung hukum dan pemerintahan
Dalam pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Berdasarkan pasal ini, setiap warga negara wajib menaati peraturan tanpa kecuali, agar terwujud masyarakat, bangsa, dan negara yang aman dan tertib. Kewajiban untuk patuh pada hukum bersifat memaksa, artinya barang siapa yang melanggar hukum akan mendapat sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran/kejahatannya.
Tuntutan patuh pada peraturan bukan hanya dalam aspek kehidupan politik saja, tetapi juga dalam aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan agama, serta dalam lingkungan kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di sekolah, misalnya, setiap siswa berkewajiban mematuhi tata tertib yang ada.
b. Kewajiban membela negara
Berdasarkan pasal 30 ayat 1 UUD 1945, membela negara merupakan kewajiban sekaligus hak setiap warga negara. Apabila negara memandang perlu, setiap warga negara mau tidak mau harus ikut serta membela dan mempertahankan negara baik terhadap gangguan dari dalam maupun luar, misalnya keharusan ikut serta dalam wajib militer.
Hak dan Kewajiban membela negara lebih lanjut diatur dalam UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa komponen kekuatan pertahanan keamanan negara terdiri atas: rakyat terlatih sebagai komponen dasar; angkatan bersenjata beserta cadangan tentara nasional Indonesia sebagai komponen utama; perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus; dan sumber daya alam, sumber daya buatan; dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung.

Secara umum, kewajiban-kewajiban warga negara dapat dibedakan atas :
a. Kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan YME.
b. Kewajiban terhadap dirinya sendiri. Misalnya, percaya pada diri sendiri; menjaga kesehatan badan; dan menambah ilmu pengetahuan.
c. Kewajiban terhadap masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Misalnya, mencintai sesama manusia; hidup toleransi; gotong-royong; menjaga keamanan serta membuang sampah pada tempatnya.
d. Kewajiban terhadap negara. Misalnya, menaati dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku; patuh kepada pemerintah; ikut serta dalam membela negara; membayar pajak dan retribusi.

4. Problem kewarganegaraan
Ada beberapa problem yang dapat muncul sehubungan dengan penentuan kewarganegaraan, yaitu :
a. Bipatride
adalah orang yang memiliki dua kewarganegaraan atau rangkap. Bipatride timbul karena dianutnya asas yang berbeda di antara dua negara dalam menentukan kewarganegraan, sehingga seseorang diakui sebagai warga negranya oleh kedua negara tersebut.
Misalnya : Si A warga negara RRC melahirkan anaknya di wilayah negara Amerika Serikat, anak itu akan menjadi bipatride karena baik RRC (menganut asas ius sanguinis) maupun Amerika Serikat (menganut asas ius soli) akan mengakui anak itu sebagai warga negaranya. Jadi anak itu memiliki kewarganegaraan rangkap.
Kasus bipatride pernah terjadi di negara Indonesia sebelum tahun 1955. pada waktu itu orang Cina karena peraturan perundang yang berlaku saat itu dapat dianggap sebagai warga negara RI, demikian pula dengan RRC menganggap orang Cina yang ada di Indonesia tersebut dianggap sebagai warga negara RRC. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, diadakan perundingan antara pemerintahan RI dengan RRC.
Hasil perundingan tersebut ditandatangani pada 22 April 1955 oleh Menlu RI dan Menlu RRC yang terkenal dengan ’Perjanjian Soenario-Chou’. Kemudian diundangkan dengan UU No. 2 tahun 1958.
Dalam perjanjian tersebut ditentukan bahwa kepada semua orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan tegas dan secara tertulis ”Apakah akan menjadi warga negara RI atau tetap berkewarganegaraan RRC”.
b. Apatride
adalah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Apatride timbul karena dianutnya asas yang berbeda di antara dua negara dala menentukan atas kewarganegraan, sehingga seseorang tidak diakui sebagai warga negara oleh kedua negara tersebut.
Misalnya : Si B warga negara Amerika Serikat melahirkan anak di negara RRC, maka anak tersebut menjadi Apatride. Anak tersebut oleh negara Amerika Serikat tidak diakui sebagai warga negaranya karena anak itu lahir di negara RRC. Demikian pula negara RRC tidak akan mengakui anak itu sebagai warga negaranya karena orangtuanya bukan warga negara RRC. jadi anak tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan.

Baik bipatride maupun apatride merupakan keadaan yang tidak disenangi oleh negra di tempat orang itu berada, bahkan bagi yang bersangkutan. Karena, keadaan bipatride akan membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dikhawatirkan merugikan negara yang bersangkutan. Sebaliknya keadaan apatride akan membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga.
Atas dasar hal tersebut, maka bipatride dan apatride harus dihindarkan, dengan cara menetapkan undang-undang yang menutup kemungkinan terjadinya bipatride dan apatride. Untuk mencegah apatride, dalam pasal 1 huruf ”f” UU No. 62 tahun 1958, ditentukan bahwa anak yang lahir si wilayah RI selama kedua orang tuanya tidak diketahui, maka diakui sebagai warga negara Indonesia. Apabila tidak ada ketentuan ini, maka anak tersebut berstatus apatride karena tidak diketahui orang tuanya. Sedangkan untuk mendegah bipatride, dalam pasal 7 UU No. 62 tahun 1958, ditentukan bahwa seorang perempuan asing yang menikah dengan laki-laki warga negara Indonesia, dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan, dengan syarat perempuan tersebut harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.

Study Case
1. Kawin Campur.
Selain memberikan hak-hak politik secara penuh kepada warga keturunan, RUU kewarganegaraan itu juga memberikan kemudahan terjadinya kawin campur antara WNI dengan WNA.
Menurut Menkum dan HAM Hamid Awaludin mengakui, RUU kewarganegaraan memicu semakin banyaknya WNI mencari pasangan hidup dari warga negara asing. Dan ini cenderung meningkat.
Dengan lahirnya UU ini, setidaknya telah mengurangi bebas WNI yang selama ini mendapat pasangan warga asing. Negara pun bisa senantiasa memberikan perlindungan maksimal kepada warganya.
Anak hasil perkawinan WNI-WNA otomatis diperkenankan menjadi warga negara ayahnya. Sementara untuk perkawinan perempuan Indonesia dengan pria asing, tidak otomatis menggugurkan kewarganegaraan si perempuan setelah perkawinan.
Ketua Ad Interim Oganisasi Perkawinan Campur (KPC), Melati, Ika Twigley mengatakan secara hukum dan psikologis kewarganegaraan mereka terjamin. Jadi, disejajarkan dengan warga negara lain. Merasa mendapat perlindungan dan juga anak-anaknya sebagai WNI. Lalu ia tidak lagi harus lapor setiap tahun karena belum menjadi WNI.
Namun sebaliknya, Pelaksana Harian Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI), Rebeka Harsono mengaku kecewa dengan UU ini. Menurut dia UU itu masih menyimpan sejumlah pasal diskriminatif terhadap perempuan. Dan UU ini membatasi anak lahir dari kawin campur untuk memilih identitas kewawarganegaraan dari kedua orangtuanya secara utuh. Setelah usia 18 tahun anak diharuskan memilih salah satu.
Dari kasus tersebut, intinya seorang isteri dihadapkan pada pilihan untuk setia pada suami atau negara bangsa asal, yang mana merupakan pilihan sulit bagi seorang perempuan di negeri ini.
2. RUU Kewarganegaraan Anak-anak Kawin Campur.
UU No. 60 tahun 1958 tentang kewarganegaraan masih menganut asas ius sanguinis (berdasarkan pada garis keturunan ayah). Karena itu, anak-anak yang mereka lahirkan dengan sendirinya mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Tapi ingat, si anak dari ibu WNI itu sangat mungkin dideportasi dari Indonesia bila orangtuanya lalai memperpanjang izin tinggalnya di Indonesia.
Misalnya, perempuan WNI menikah dengan laki-laki WN AS, dan melahirkan anak lelaki di Denpasar. Bagi Amerika Serikat, anak tersebut dianggap “bukan” anak AS karena kelahirannya “tidak diketahui”. Indonesia memang memberi peluang bagi anak tadi menjadi WNI, karena bila tidak anak tersebut tidak memiliki kewarganegaraan. Masalahya, kalau nanti sang ayah meninggal, maka si anak sama sekali tidak mendapat hak waris.
Pasal 4 Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegraan, pada dasarnya menyatakan, apabila anak-anak yang lahir akibat kawin campur mengalami masalah dalam hal mengikuti kewarganegaraan ibu atau ayahnya, kalau ia lahir dinegeri asal ibunya, maka negara harus menetapkan kewarganegaraan si anak sama dengan si ibu. Atau dengan jalan permohonan naturalisasi sesuai dengan prosedur yang diatur undang-undang. Jadi untuk saat ini ibu-ibu yang bersuamikan orang asing boleh sedikit bernafas lega.

Kini telah disyahkannya UU Kewarganegaraan yang baru ini untuk perempuan WNI yang menikah dengan WNA. Karena untuk kewarganegaraan setiap anak tidak perlu lagi mengurus ke instansi pemerintah seperti imigrasi. Arti kata, dengan terbitnya surat keputusan ini maka kehidupan anak hasil pernikahan campur anatara WNI dengan WNA menjadi lebih terjamin statusnya hingga umur 18 tahun plus masa pemilihan keyakinan kewarganegaraan selama 3 tahun ke depan.

3. Syarat-syarat dan pelangsungan Perkawinan Campuran
Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2). Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1).
Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 2). Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat keterang itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (pasal 60 ayat 3).
Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat.
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).
4. Pencatatan perkawinan campuran
Suatu perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku guna memperoleh akte nikah,sebagai bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah.
Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti, bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi (pasal 60 ayat 1). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi sehingga tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (pasal 60 ayat 2).
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama islam ialah Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedangkan yang bukan beragama islam adalah Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan maka yang melangsungkan perkawinan campuran itu dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan (pasal 61 ayat 2). Pegawai pencatat yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetehui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan dihukum jabatan (pasal 61 ayat 3).
5. Kewarganegaraan Akibat Perkawinan Campuran
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan Undang-undang Kewarganegaraan R.I yang berlaku yaitu UU No. 62 Tahun 1962.
Menurut Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pewarganegaraan diberikan atas permohonan pewarganegaraan kepada Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan menurut UU ini pemohon harus:1. Sudah berusia 21 tahun. 2. Lahir dalam wilayah RI, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sekurang-kurangnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut; 3. Apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan istri (istri-istrinya);4. Cukup dapat berbahasa Indonesia dengan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah di hukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia dalam keadaan sehat rohani dan jasmani; 5. dalam keadaan sehat rohani dan jasmani;6. Membayar pada kas negara antara Rp 500,- sampai Rp 10.000,- yang ditentukan jawatan pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan;7. Mempunyai mata pencaharian tetap;8. Tidak mempunyai kewarganegaraan/kehilangan kewarganegaraannya apabila ia mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Dalam pasal 8 ayat 1 UU ini bahwa seorang perempuan warga negara R.I yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan R.I nya apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia kehilangan kewarganegaraan R.I itu menjadi tanpa kewarganegaraan.
Seorang (pria/wanita) disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan R.I ia dapat memperoleh WNI kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu yang harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah perkawinan itu terputus, dengan ketentuan setelah kembali memperoleh WNI nya itu ia tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap (pasal 11 UU NO. 62 Tahun 1958).
6. Mengusulkan Amandemen UU Kewarganegaraan dan UU Keimigrasian
ALIANSI Pelangi Antar-Bangsa dalam dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR mengajukan usulan untuk amandemen Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Keimigrasian.
Menurut APAB, yang disampaikan juru bicaranya Dewi Tjakrawinata, kedua undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984, dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Kedua undang- undang itu juga tidak sesuai dengan perubahan zaman.
Tujuan APAB adalah agar tercapai persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam hal kewarganegaraan, keimigrasian, ahli waris dan warisan; penghapusan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan; hak bekerja di Indonesia bagi istri/ suami dan anak warga negara asing (WNA) dari perkawinan campur.
Undang-Undang Kewarganegaraan, menurut APAB, memberatkan warga negara karena menetapkan bahwa kewarganegaraan anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayah, dan sama sekali tidak membolehkan dwikewarganegaraan.
Undang-Undang Keimigrasian menyatakan bahwa orang asing di Indonesia karena hubungan darah atau perkawinan dengan warga negara Indonesia (WNI) diperlakukan sama dengan orang asing yang berada di Indonesia karena kepentingan kerja, bisnis, atau wisata.
Kedua undang-undang itu menimbulkan banyak sekali masalah bagi keluarga perkawinan campur antarbangsa. Persoalan itu antara lain, ibu tidak otomatis punya hak asuh bagi anaknya karena berbeda kewarganegaraan, anak (WNA bila ayahnya orang asing) tidak boleh bersekolah di sekolah negeri dan bekerja di Indonesia, istri/suami WNA tidak punya hak bekerja di Indonesia, dan terjadi banyak pelanggaran hukum yang tidak disengaja karena seorang ibu WNI/WNA ingin mempertahankan anaknya yang berbeda kewarganegaraan.
APAB menyatakan memiliki catatan sejumlah kasus, seperti antara lain perempuan di daerah Kalimantan yang menikah dengan warga asing lalu bercerai, kerepotan mengurus izin tinggal anaknya yang kewarganegaraannya mengikuti ayahnya yang orang asing. "Dalam hal terjadi kekerasan, belum sempat istri warga Indonesia melaporkan suaminya, suami sudah meninggalkan Indonesia dengan membawa serta anak," papar Dewi.
MASALAH-masalah di atas otomatis hilang bila warga Indonesia yang terikat perkawinan dengan warga asing dibolehkan memiliki dwikewarganegaraan, sedangkan WNA yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dengan WNI diizinkan memiliki status penduduk tetap.
Dibolehkannya dwikewarganegaraan itu, menurut APAB, didasarkan asas timbal balik (resiprositas) di dalam UU Kewarganegaraan, dan diadakannya status penduduk tetap di dalam UU Keimigrasian yang memungkinkan suami/istri atau anak WNA dari seorang WNI tinggal dan menetap dengan hak yang sama dengan warga negara kecuali dalam hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Dengan status penduduk tetap, bila perkawinan putus atau terjadi kematian pada pasangan, suami/istri WNA dapat tetap tinggal di Indonesia; dibebaskan dari keharusan memiliki visa kunjungan yang dialihkan menjadi izin tinggal bagi istri/suami atau anak WNA atau paling tidak dipermudah; suami/istri dan anak WNA dari seorang WNI dapat bekerja tanpa harus memiliki sponsor perusahaan dan dibebaskan dari status expatriate seperti diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Disebutkan Dewi, untuk mengurus izin tinggal di Indonesia, seorang WNA atau anak WNA dengan ibu WNI harus mengurus 10 jenis dokumen, sedangkan untuk WNA yang akan bekerja di Indonesia ada 14 dokumen.
Dalam kajian APAB terhadap peraturan dwikewarganegaraan 198 negara, 53 negara memberi dwikewarganegaraan tanpa syarat apa pun, 15 negara memberi dwikewarganegaraan dengan banyak larangan khusus, 37 negara tidak memberi dwikewarganegaraan tetapi memberi banyak kekecualian, antara lain status penduduk tetap untuk pasangan perkawinan antarbangsa dan anak yang lahir dari perkawinan itu, 15 negara melarang sama sekali tanpa syarat apa pun, dan 9 negara tidak diketahui.


Bab II
Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia meruapakan perjuangan dari individualisme, namun negara-negara modern yang tidak menganut individualis pun mengakui dan menjujung tinggi hak asasi manusia termasuk negara Indonesia. Adapun pokok-pokok hak asasi manusia di Indonesia diatur dalam UUD1945, baik dalam Pembukaan maupun batang Tubuhnya, serta dalam Tap MPR no.XVII/MPR/1998.


Daftar Pustaka
Rahmat A, Drs.2000.Panduan Menguasai Tata Negara.Bandung: Ganeca Exact.

Tidak ada komentar: